DERAJAT HADITS
PUASA HARI TARWIYAH
Sudah terlalu sering saya
ditanya tentang puasa pada hari tarwiyah (tanggal delapan Dzulhijjah) yang
biasa diamalkan oleh umumnya kaum muslimin. Mereka berpuasa selama dua hari yaitu
pada tanggal delapan dan sembilan Dzulhijjah (hari Arafah). Dan selalu
pertanyaan itu saya jawab : Saya tidak tahu! Karena memang saya belum
mendapatkan haditsnya yang mereka jadikan sandaran untuk berpuasa pada hari
tarwiyah tersebut.
Alhamdulillah, pada hari ini
(3 Agustus 1987) saya telah menemukan haditsnya yang lafadznya sebagai berikut.
صَوْمُ
يَوْمِ التَّرْوِيَةِ كَفَّارَةُ سَنَةٍ، وَصَوْمُ يَوْمِ عَرفَةَ كَفَّارَةُ
سَنَتَيْنِ
“Artinya
: Puasa pada hari tarwiyah menghapuskan (dosa) satu tahun, dan puasa pada
hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun”.
Diriwayatkan oleh Imam Dailami
di kitabnya Musnad Firdaus (2/248) dari jalan :
1. Abu Syaikh dari :
2. Ali bin Ali Al-Himyari dari
:
3. Kalbiy dari :
4. Abi Shaalih dari :
5. Ibnu Abbas marfu’ (yaitu
sanadnya sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)
Saya berkata : Hadits ini
derajatnya maudlu’.
Sanad hadits ini mempunyai dua
penyakit.
Pertama.
Kalbiy (no. 3) yang
namanya : Muhammad bin Saaib Al-Kalbiy. Dia ini seorang rawi pendusta. Dia pernah
mengatakan kepada Sufyan Ats-Tsauri, “Apa-apa hadits yang engkau dengar dariku
dari jalan Abi Shaalih dari Ibnu Abbas, maka hadits ini dusta” (Sedangkan
hadits di atas Kalbiy meriwayatkan dari jalan Abi Shaalih dari Ibnu Abbas).
Imam Hakim berkata : “Ia
meriwayatkan dari Abi Shaalih hadits-hadits yang maudlu’ (palsu)” Tentang
Kalbiy ini dapatlah dibaca lebih lanjut di kitab-kitab Jarh Wat Ta’dil.
1. At-Taqrib 2/163 oleh
Al-Hafidz Ibnu Hajar
2. Adl-Dlu’afaa 2/253, 254,
255, 256 oleh Imam Ibnu Hibban
3. Adl-Dlu’afaa wal Matruukin
no. 467 oleh Imam Daruquthni
4. Al-Jarh Wat Ta’dil 7/721
oleh Imam Ibnu Abi Hatim
]. Tahdzibut Tahdzib 9/5178
oleh Al-Hafizd Ibnu Hajar
Kedua : Ali bin Ali Al-Himyari
(no. 2) adalah seorang rawi yang majhul (tidak dikenal).
Kesimpulan
1. Puasa pada hari tarwiyah (8
Dzulhijjah) adalah hukumnya bid’ah. Karena hadits yang mereka jadikan sandaran
adalah hadits palsu/maudlu’ yang sama sekali tidak boleh dibuat sebagai dalil.
Jangankan dijadikan dalil, bahkan membawakan hadits maudlu’ bukan dengan maksud
menerangkan kepalsuannya kepada umat, adalah hukumnya haram dengan kesepakatan
para ulama.
2. Puasa pada hari Arafah
(tanggal 9 Dzulhijjah) adalah hukumnya sunat sebagaimana sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam di bawah ini.
صِيَامُ
يَوْمِ عَرَفَةَ اَحْتَسِبُ عَلَى اللّهِ اَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْ
قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِيْ بَعْدَهُ، وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ اَحتَسِبُ
عَلَى اللّهِ اَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْ قَبْلَهُ
“Artinya
: … Dan puasa pada hari Arafah –aku mengharap dari Allah- menghapuskan (dosa)
satu tahun yang telah lalu dan satu tahun yang akan datang. Dan puasa pada hari
‘Asyura’ (tanggal 10 Muharram) –aku mengharap dari Allah menghapuskan (dosa)
satu tahun yang telah lalu”.
[Shahih riwayat Imam Muslim (3/168),
Abu Dawud (no. 2425), Ahmad (5/297, 308, 311), Baihaqi (4/286) dan lain-lain]
Kata ulama : Dosa-dosa yang
dihapuskan di sini adalah dosa-dosa yang kecil. Wallahu a’lam!
[Disalin dari buku Al-Masaa’il
(Masalah-Masalah Agama) Jilid 2, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit
Darul Qalam – Jakarta, Cetakan I, Th. 1423H/2002M]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar